Asal Mula Hukum Gravitasi


Ketika wabah sedang melanda kota Cambridge, Inggris pada tahun 1666, Isaac Newton memutuskan mengungsi sementara di luar kota. Suatu hari, ketika dia sedang berjalan-jalan di taman, dia melihat sebuah apel jatuh. Apel tersebut jatuh begitu saja, seolah-olah diraih dari bawah oleh sebuah tangan tidak kelihatan. Versi lain dari cerita ini, yang lebih dramatis, apel tersebut jatuh ke atas kepala Newton ketika dia sedang tertidur di bawah sebatang pohon. Mana yang benar kita tidak tahu. Yang kita tahu, cerita tersebut dianggap menginspirasi Newton menemukan hukum gravitasi.

Cerita tersebut sungguh menarik, dan hampir semua dari kita pernah mendengarnya. Cerita tersebut tentu turut menyumbang kepercayaan kita bahwa penemuan hukum gravitasi oleh Newton adalah buah kejeniusan yang muncul mendadak. Sesaat sebelum apel tersebut jatuh, hukum gravitasi belum ada. Apel jatuh; hukum gravitasi mulai menemukan bentuknya di benak Newton. Hanya, dan hanya seorang jenius seperti Newton yang bisa melakukannya. Tidak perlu kerja keras bertahun-tahun untuk merumuskannya.

Sayangnya, cerita apel jatuh tersebut kemungkinan adalah cerita fiktif yang dikarang oleh Voltaire. Dan andaikata pun cerita tersebut nyata, Newton tidak serta merta menemukan teori gravitasi. Untuk menemukan hukumnya yang terkenal itu, Newton kemudian menghabiskan waktu bertahun-tahun memenuhi seluruh catatannya dengan coretan tangan dan mengukur gerakan pendulum dengan teliti. Teori gravitasi tidaklah lahir begitu saja dalam momen singkat tersebut. Seorang Newton pun membutuhkan waktu sekitar dua puluh tahun sebelum berani merumuskan hukumnya dalam buku Principia yang diterbitkan pada tahun 1687.

Newton sendiri mengakui dia harus berpikir terus menerus selama bertahun-tahun untuk merumuskan hukum gravitasi. Kita mengenal Newton sebagai sosok jenius, tetapi di masa mudanya, para teman-temannya mengenalnya sebagai sosok yang gigih luar biasa. Newton menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berpikir dan berpikir. Tidak ada seorang pun yang berpikir sekeras Newton di jamannya. Bahkan bila dia tidak “dipaksa” melakukan percobaan untuk membuktikan teori-teorinya, teman-temannya kuatir dia akan meninggal karena belajar dan berpikir tanpa henti, dan lupa menjaga tubuhnya. Dia bahkan sering lupa untuk makan, dan dia juga benar-benar lupa untuk menikah karena Newton hidup melajang sampai akhir hayatnya.

Kegigihan Newton bisa dilihat ketika dia bertekad menguasai buku matematika karangan Rene Descartes, Geometry. Newton berkali-kali mengalami kesulitan memahami buku tersebut dan sering harus berhenti membaca setelah beberapa halaman, dan mengulangi dari awal sampai dia benar-benar memahami materinya. Setelah itu, dia akan meneruskan beberapa halaman berikutnya sampai menemukan kesulitan lagi. Demikian seterusnya hingga di menguasai seluruh buku tersebut. Siapa yang mengatakan Newton tidak perlu belajar lebih keras dari kita? Newton pun jelas tetap membutuhkan kerja keras untuk belajar.

Kita jelas harus mengakui Newton adalah seorang jenius dan hampir semua orang sepakat menempatkannya sebagai ilmuwan paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Seperti yang ditulis oleh teman karibnya, Alexander Pope di batu nisan Newton: Tuhan menciptakan Newton, dan terkuaklah hukum-hukum alam. Kita memang layak mengagumi karya-karya Newton. Namun semoga sekarang kita bisa mengagumi sesosok jenius tersebut karena buah kerja keras dan kegigihannya yang tak kunjung henti.

Ilmuwan yang berhak menerima tongkat estafet dari Newton tentu saja hanya satu orang. Albert Einstein. Dan sama seperti kisah Newton yang penuh romantisme, kisah Einstein juga tidak jauh berbeda. Einstein sering digambarkan tumbuh dalam lingkungan yang kurang bersahabat, dan mengalami keterlambatan perkembangan mental ketika masih kecil karena belum bisa berbicara lancar sampai usia empat tahun. Einstein juga pernah ditolak masuk ke perguruan tinggi dan harus mencoba masuk lagi setahun kemudian. Tetapi entah kenapa, tiba-tiba dia berubah menjadi seorang jenius ketika bekerja di kantor hak paten di Zurich. Inilah kisah jenius yang sesungguhnya. Tidak ada penjelasan lain yang bisa menjelaskan pencapaian Einstein yang tiba-tiba seperti itu.

Tentu saja sebagian dari cerita tersebut memang berdasar. Einstein memang sering terlihat gagap berbicara ketika masih kecil, tetapi hal itu bukan karena keterlambatan perkembangan mentalnya. Sebaliknya, Einstein kecil kelihatannya memiliki kecenderungan untuk berusaha berbicara dalam kalimat yang lengkap. Dari kecil dia juga sudah menunjukkan imajinasi luar biasa, dan terutama tertarik dengan cara kerja benda-benda.

Sementara fakta bahwa Einstein pernah ditolak masuk ke perguruan tinggi memang benar, tetapi penjelasannya karena waktu itu Einstein dianggap belum cukup umur. Waktu itu, umurnya kurang dua tahun dari persyaratan minimum. Seorang profesor yang terkesan dengan kecerdasan Einstein waktu itu mengundangnya untuk ikut dalam kuliahnya sambil menunggu dia cukup umur untuk diterima.

Sementara cerita bahwa Einstein dilahirkan di lingkungan yang kurang mendukung juga tidak sepenuhnya benar. Memang benar keluarga Einstein adalah Yahudi yang hidup di Jerman, tetapi keluarga Einstein tidak pernah mendapatkan masalah berarti karena ras mereka. Mereka tinggal di apartemen yang cukup bagus di kota Ulm, bagian selatan Jerman dan kemudian pindah ke Munich. Keluarga Einstein yang harmonis dan berpendidikan tinggi sangat mendorong anak-anak mereka dalam belajar dan mengeksplorasi minat mereka. Einstein muda tidak pernah kekurangan buku-buku terbagus pada jaman itu dan dia melahap semua buku-buku yang disediakan untuknya. Pada umur 13 tahun Einstein sudah membaca buku Immanuel Kant Critique of Pure Reason. Dia juga mencintai musik dan kelak terkenal dengan permainan biolanya yang piawai.

Paman Einstein, Jacob adalah seorang insinyur berpengalaman. Pada tahun 1880, ayah Einstein dan Jacob patungan membuka usaha yang kemudian masuk ke bidang baru, teknik listrik. Selama puncak kejayaannya, perusahaan mereka mempekerjakan 200 karyawan. Einstein yang sering berkunjung ke pabrik tersebut tidak pernah ketinggalan perkembangan teknologi listrik terkini, apalagi ayah dan paman Einstein tidak segan-segan membelanjakan uang mereka untuk membeli mesin-mesin hasil inovasi terbaru.

Jacob, dan paman Einstein yang lainnya, Caesar Koch, menyayangi Einstein dan membantu perkembangan mental Einsten muda dengan menjadi mentor dan membelikan anak yang penuh semangat belajar tersebut buku-buku matematika terbaru. Pada umur sepuluh, Einstein berkenalan dengan Max Talmud, yang banyak membantunya kemudian. Talmud adalah tamu keluarga dan masih berusia dua puluh satu tahun waktu itu. Kecerdasan dan keluasan pengetahuannya banyak membantu perkembangan mental Einstein, terutama di bidang matematika.

Dan ketika Einstein masuk ke perguruan tinggi, dia sudah menghabiskan belasan tahun mendalami matematika dengan minat tinggi dari orang-orang yang berkompeten dan menaruh perhatian pada perkembangannya. Kejeniusan Einstein tidaklah muncul tiba-tiba sebagaimana banyak dipercaya orang selama ini. Dia mendapatkannya melalui ketekunan belajar, dan tak kalah pentingnya, dukungan dan bimbingan dari keluarga dan orang-orang yang mencintainya selama belasan tahun.

Kisah kedua jenius besar tersebut – Newton dan Einstein – dengan jelas memperlihatkan betapa panjangnya persiapan yang harus mereka jalani sebelum mampu menghasilkan karya besar mereka. Mereka mungkin saja diberkati dengan kecerdasan di atas rata-rata, tetapi mereka tetap harus menekuni terlebih dahulu bidang mereka setidaknya selama belasan tahun sebelum mampu melahirkan karya agung mereka. Kejeniusan mereka yang kita kenal selama ini tidak muncul begitu saja dari ruang hampa.

Tentu saja sekarang kita sudah melihat banyak contoh pentingnya kerja keras di semua bidang. Namun apakah kerja keras belaka cukup? Jelas tidak sesederhana itu. Siapa pun pasti bisa menemukan contoh orang yang sudah bekerja keras belasan atau malah puluhan tahun dan yang didapatkan bukannya keahlian, melainkan penyakit dan kesengsaraan. Adakah yang lebih menyedihkan dari itu? Kita sudah menginvestasikan belasan tahun bekerja keras dan kemudian menemukan semua waktu yang sudah kita habiskan sia-sia belaka. Jika Anda tidak yakin kerja keras saja adalah jawabannya, maka Anda benar. Tidak semua kerja keras mampu membawa Anda ke tempat yang diinginkan. Kerja keras yang dibutuhkan adalah kerja keras dengan cara yang benar. Kita akan mengupas lebih jauh mengenai hal tersebut di artikel-artikel berikutnya, dimulai dari kisah seorang individu yang dikenal dengan nama SF.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Teori Geosentris

Aplikasi Digital Cinema Berbasis Desktop : Auto Desk Maya

Implikasi dan Dampak Digital Cinema di Masyarakat